Selasa, 09 November 2010

Sejarah dan Perkembangan Style Arsitektur di Jepang

Perkembangan sejarah arsitektur Jepang secara singkat diperkirakan dimulai sejak awal periode Yomon (ca. 8000~300 BC.). Kemudian dilanjutkan dengan beberapa periode, yaitu Yayoi (ca. 300 BC. ~ AD. 300) dan periode berikutnya adalah periode Tomb atau Kofun (ca. 300~552). Perjalanan dari periode-periode tersebut memberikan banyak peninggalan tradisi berbudaya dalam bangunan tempat tingal, temuan dari hasil rekonstruksi arsitektur dan arkeologi yang masih mempunyai bentuk keasliannya, yang sampai saat ini masih dapat dilacak keberadaannya. Arsitektur dari bangunan tempat tinggal tersebut memberi corak tradisi  erkembangan awal peradaban Jepang dalam membentuk lingkungan permukiman tradisionalnya. Tradisi dan budaya ini berkembang menjadi dasar pijakan awal perkembangn arsitektur dan kepercayaan asli bangsa Jepang. Hasil rekonstruksi di atas menunjukkan bahwa budaya asli mereka dalam berhuni cukup tinggi dengan struktur konstruksi bangunannya maupun pola permukimannya yang sangat dinamis
Setelah ketiga periode di atas berjalan, muncul satu kepercayaan asli bangsa Jepang yang berkembang pada waktu itu, yaitu Shinto (the Way of God). Mereka menyebutnya Tuhan mereka sebagai kami, karena itu kata kami dapat diartikan pula sebagai dewa atau Tuhan. Shinto merupakan satu kepercayaan asli (primitif) dengan sifat universal. Bentuk bangunan kuilnya merupakan ciri khas dari arsitektur tradisional Jepang (native architecture). Struktur dan konstruksi bangunannya masih asli dan sangat sederhana, tanpa adanya detail dan ornament serta warna. Bentuk bdan tampilan angunannya mempunyai karakter jerinih, tanpa adanya polesan apapun. Keasliannya memberikan cermin akan kesederhanaan karakter dan budaya yang melekat pada tradisi waktu itu, yang akhirnya dibawa ke dalam era modern sekarang ini. Dari bentuk bangunannya, belum nampak adanya pengaruh dari arsitektur manapun dalam hal ini Budisme. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada masa tersebut agama/kepercayaan dan arsitektur yang berkembang pada waktu itu belum terpengaruh dari manapun. Karena pada periode tersebut agama Buda dan segela bentuk budayanya belum masuk dan menyebar ke Jepang, baik yang melalui Korea maupun Cina.
Pada tahun 552 AD., Budisme masuk ke Jepang melalui Korea (melalui kerajaan Paekche). Pada waktu itu Budisme berkembang sangat pesat terutama di Kota Nara, dan perkembangan tersebut meliputi agama (dengan munculnya enam aliran di dalam agama Buda), kebudayaan, arsitektur, seni, dan sebagainya. Pola dan bentuk bangunan kuil-  kuilnya pengaruh  dari arsitektur dan budaya Cina sangat kuat sekali, baik dari struktur bangunannya maupun bentuk tampilannya. Perkembangan Budisme diawali sejak periode Asuka (552~645) dan dilanjutkan pada periode Nara (646~793). Dari perjalanan kedua periode tersebut, arsitektur kuil berkembang pesat, dan style yangmmuncul pada waktu itu, adalah wayou (native style = Japanese style architecture). Merupakan style dengan keaslian bentuk dan tampilannya mencirikan awal dari berkembangnya arsitektur Budhis di Jepang. Dengan berbagai macam aliran dalam Budisme yang berkembang di Kota Nara, berkembang pula berbagai macam bangunan kuil mulai pagoda sampai pada permukimannya. Dengan bentuk dan detail-detail arsitekturnya menjadikan awal dari perkembangan arsitektur bangunan kuil-kuil di Jepang.
Pada periode Heian (794~1185), ada dua sekte besar yang banyak berperan di dalam pengembangannya. Kedua sekte tersebut adalah, sekte Shingon dan sekte Tendai. Kedua sekte ini mengembangkan ajaran tentang esoterik Budisme (dari aliran Mahayana) dengan  mandalanya (kosmik diagram). Untuk sekte Shingon mempunyai kompleks kegiatan yang berpusat di atas gunung Koya di propinsi Wakayama. Sedangkan sekte Tendai berpusat di atas gunung Hie yang terletak di perbatasan antara propinsi Kyota dan Shiga. Pada periode ini perkembangan dari style untuk kuil-kuil Buda, masih bertahan dengan wayou (Japanese style). Bangunan-bangunan kuil dengan pola perletakan kompleks kuilnya menjadi ciri khas  ada periode tersebut. Demikian juga dengan lukisan-lukisan dengan konsep mandalanya berkembang dengan pesat, dan menjadi ciri dari periode tersebut.
Pada periode Kamakura (1186~1333), muncul beberapa sekte baru dalam agama Buda, di antaranya adalah Zen Budisme yang berkembang pesat di Jepang. Waktu itu perkembangannya melalui duasekte besar, yaitu sekte Rinzai dan sekte Soutou. Kedua sekte ini dibawa oleh biksu-biksu dari Jepang yang belajar ke Cina. Membawa filosofi baru dalam Budisme yang akhirnya berkembang keseluruh bagian dari kehidupan masyarakat Jepang, terutama dalam bidang seni dan budaya. Periode ini campur tangan dari pemerintah militer mempunyai peran besar, terutama dalam perkembangan dari sekte
Rinzai. Dapat dikatakan, bahwa kedua sekte yang mereka bawa dari Cina dapat masuk ke dalam kehidupan masyarakat, termasuk arsitektur Zen yang terlihat pada bangunan kuil maupun huniannya. Selain sekte yang berkembang melalui Zen Budisme, ada, beberapa sekte lain dari agama Buda yang juga berkembang, di antaranya sekte Judou, sekte Joudou-shin dan sekte Nichiren. Meskipun demikian, pada awalnya Japanese style (wayou) masih bertahan, namun dalam proses perjalanannya style baru yang masuk dibawa dari Cina Zen style (zenshuyou) atau juga disebut karayou (Chinese style), mengalami perkembangan pesat. Style ini berkembang terutama pada bangunan-bangunan kuil, pola lay out bangunan ataupun detail-detail arsitektur menjadikan ciri khas bangunan Zen Budisme di Jepang. Di samping style-style tersebut, ada beberapa kuil  ang di dalam perkembangannya menggunakan atau mengadopsi lebih dari dari satu macam style, yang diwujudkan ke dalam sebuah bangunan. Di antaranya, adalah penggabungan dari beberapa macam style, yaitu “wayou”+”zenshuyou/karayou”+“daibutsuyou”. Penggabungan dari berbagai macam style ini juga dinamakan setchuyou (mix style/hybrid style). Sebenarnya, pada periode Kamakura ini, style yang berkembang hanya ada dua, yaitu zenshuyou dan daibutsuyou (great Buddha style)/tenjikuyou (Hindu style). Sedangkan untuk daibutsuyou muncul pertama kali saat Chogen melakukan restorasi bangunan Nandaimon, yaitu pintu gerbang, yang terdapat di bagian selatan dari kuil Toudai-ji di Kota Nara.
Dalam Zen Budisme, perkembangan pesat terjadi pada sekte Rinzai, terutama di Kota Kamakura dan Kyoto. Di kedua kota tersebut, terdapat ranking dari lima kuil besar (gozan), sistem tersebut diadopsi dari sistem yang terdapat di Cina. Kuil-kuil besar yang terdapat di kedua kota tersebut mendapat dukungan dari pemerintah militer yang berkuasa pada waktu itu. Dukungan yang diberikan oleh pemerintah militer antara lain meliputi ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Sedangkan sekte Rinzai lebih banyak berkembang di pusat-pusat Kota, dibandingkan dengan sekte Soutou karena mendapat dukungan dari pemerintah militer. Sebaliknya, untuk sekte Soutou lebih banyak berkembang di daerah pedesaan dan pegunungan yang jauh dari pusat kota. Pada tahun 1630, ada sekte baru, yaitu sekte Obaku yang merupakan bagian dari Zen Budisme masuk ke Jepang dibawa oleh seorang bhiksu dari Cina. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, di Kota Kyoto berkembang pula dua kuil besar dari sekte Rinzai, yaitu Myoushin-ji dan Daitoku-ji. Kedua kuil ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah militer yang berkuasa waktu itu. Karena keduanya tidak masuk ke dalam ranking lima kuil besar (gozan), dan dalam perkembangannya kedua kuil tersebut hingga saat ini masih bertahan.
Pada periode Muromachi (1134~1573), style dari zenshuyou maupun karayou masih berkembang dengan pesatnya. Terutama pada art of garden (seni penataan taman) dengan bentuk penataan mempunyai ciri khas dari filosofi Zen. Seni taman ini banyak terlihat pada vihara- vihara sekte Rinzai, yang terdapat di dalam kompleks kuil-kuil besar Zen yang berada di Kota Kyoto. Perkembangan lain yang terjadi, adalah residential architecture (rumah tinggal), terlihat pada bangunan-bangunan kuil, vila, dan rumah para samurai dengan
sentuhan detail-detail arsitektur yang khas dari Zen Budisme.
Berikutnya pada periode Momoyama (1574~1614), ada tiga shogun besar yang mempersatukan Jepang di antaranya adalah Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieasu. Style yang berkembang pada periode ini masih bertahan pada zenshuyou/karayou, sedangkan pada bagian lain adalah Zen painting (seni lukis) nampak berkembang sangat pesat. Pada bagian lain dari periode ini yang juga berkembang pesat adalah bangunan castle, perkembangannya hampir terdapat di seluruh Kota yang ada di Jepang. Sebagian dari bangunan castle tersebut sampai saat ini masih bertahan dan dilestarikan sebagai cagar budaya. Ada beberapa bangunan yang sudah mengalami perubahan baik dengan cara restorasi maupun rekonstruksi, dan bahkan menggunakan teknologi modern, karena dengan kondisi bangunan yang ada sekarang sudah tidak mungkin lagi untuk dipertahankan sesuai dengan struktur dan konstruksi aslinya.
Pada periode Edo (1574~1868), adalah merupakan penerusan dan Perkembangan dari periode sebelumnya (Momoyama). Dalam periode ini terlihat adanya penekanan pada detail-detail bangunan, warna, dan ukiran baik untuk kuil maupun hunian rumah tinggal. Machiya (rumah di perkotaan) berkembang pesat hampir di semua kota, menjadi awal peradaban hunian kota yang sebagian besar masih bertahan sampai saat ini di Jepang. Akhir periode ini menjadi awal dari pelestarian cagar budaya bagi bangunan-bangunan yang di  angun periode sebelum sampai akhir periode Edo.
Periode berikutnya, adalah restorasi Meiji (1687~1911) dan periode Taisho (1912~1926), pengaruh dari western style (arsitektur barat) di antaranya renaissance, gothic dan romanesque masuk ke Jepang. Style-style tersebut banyak dikembangkan untuk bangunan-bangunan universitas, museum, peribadatan, dan kantor. Pengaruh dari style- style peninggalan periode Meiji dan Taisho sampai saat ini masih dapat dilihat di Kota-Kota besar di Jepang sebagai warisan budaya masa lalu. Dipertahankan sebagai bagian dari bangunan cagar budaya mereka. Bahkan para arsitek Jepang yang menghasilkan karyanya pada waktu itu hampir kesemuanya menggunakan style-style tersebut sebagai bagain dari desain bangunannya.
Babak baru dari dunia arsitektur berkembang dengan pesat hampir keseluruh daratan Jepang, terutama di Kota-Kota besar. Pada periode  Showa (1927~1988) banyak arsitek Jepang yang belajar ke Amerika dan Eropa memberikan pengaruh besar terhadap Perkembangan arsitektur di Jepang. Seperti Maekawa Kunihiro yang disebut sebagai bapak arsitektur modern Jepang yang belajar ke Prancis di bawah arsitek Le Corbusier. Pengaruh besar dari hasil belajarnya di Prancis memberikan suasana baru di Jepang dalam desain bangunannya. Kemudian arsitek lain seperti, Kenzo Tange juga banyak memberikan ungkapan-ungkapan baru di dalam rancangannya. Sangat berbeda dengan native arsitektur yang tmbuh dan berkembang di Jepang sendiri. Dilanjutkan dengan periode Heisei (1989~sekarang) di mana post-modern mulai berkembang di Jepang (sebenarnya post-modern di Jepang berkembang awal tahun 1980-an) dan hal ini muncul akibat dari bubble economic. Perkembangan desain dari arsitektur post- modern memberikan perubahan dalam perjalanan arsitektur Jepang dalam memberikan segala macam bentuk-bentuk arsitekturnya. Dengan sedemikian rupa penjelajahannya memberikan ungkapan yang sukar untuk diduga ke mana arh ide dan gagasannya. Bermunculan bagai cendawan di musim hujan bersanding secara kontradiktif dengan ketradisionalan yang mereka punyai. Style-style telah mengabaikan tradisi, budaya, bentuk, bahan dan ungkapannya. Menjadi tempat berlombanya para arsitek Jepang dalam menemukan ide-de dan gagasan baru dalam berkreasi untuk menciptakan bentuk-bentuk barunya. Ini menjadi ciri khas berakhirnya arsitektur post-modern di Jepang.

BELENGGU KREATIVITAS ARSITEK

Arsitektur berkembang dalam perjalanan yang panjang. Sejak pertama manusia memahami kaidah ruang dan mengolahnya menjadi lebih baik untuk kepentingan hidupnya, manusia sudah ber-arsitektur. Manusia sudah menghasilkan karya arsitektur. 

Kebutuhan manusia dapat mempengaruhi gagasan-gagasan arsitektural. Gagasan-gagasan ini masih terus berkembang sejalan dengan nilai-nilai yang dianut. Nilai budaya manusia yang semakin beragam dan terbuka memberikan peluang terwujudnya arsitektur yang beragam tersebut.

Seperti halnya bidang-bidang lain, arsitektur mempunyai “tata tertib sendiri” terutama dalam menciptakan hasil atau produknya di dunia. Konstelasi “tata tertib” tersebut, baik dalam wujud tradisi, nilai-nilai yang hidup di masyarakat pemakainya dan lain sebagainya bertransformasi ke dalam wujud bangunan (arsitektur). Pada kenyataan lain kontroversi dalam arsitektur muncul sejak lama yaitu apakah arsitektur itu mempunyai/membutuhkan teori (seperti halnya ilmu lain) atau tidak? Dibandingkan, ilmu eksakta lain, arsitektur sering dikatakan belum memiliki Body of Knowledge yang utuh dan pasti. Secara keilmuwan, arsitektur belum mapan.

Paul-Allan Johnson dalam bukunya The Theory of Architecture berusaha menjelaskan realitas arsitektur dalam perspektif ilmu. Ia ingin menunjukkan keterbatasan pengetahuan menangkap realitas arsitektur, karena selama ini pendekatan teori dalam arsitektur mengandalkan rasionalitas-positivistik dan bercorak bagian per-bagian. Teori arsitektur bukanlah teori yang dimengerti dan diyakini sebagai dalil universal atau generalisasi yang mencakup semua bentuk arsitektur melainkan teori yang bersifat lokal atau regional, sangat spesifik atau mungkin mengandung kontradisksi serta mencakup beragam situasi dan konteks yang berkaitan dengannya.

Didalam perjalanannya, arsitektur mengalami perkembangan/perubahan-perubahan dan memunculkan berbagai gelombang arsitektural, misalnya : Arsitektur Klasik, Arsitektur Kristen dan Byzantine, Romanik, Barok, Renaissance, Klasik Baru, Modern dan Arsitektur Post Modern. Masing-masing gelombang mewakili dinamika jaman , gagasan-gagasan dan sosial budaya masyarakatnya serta pengaruh mazhab-mazhab tokoh arsitektur masa itu. Apa yang terjadi di Indonesia, bahkan Kalbar akan sangat berbeda dengan daerah lain. Pada masing-masing masa itu, pergelutan kreativitas arsitek di “lingkari” mazhab (paradigma), tuntutan masyarakat zamannya. Bahkan mungkin lingkaran tersebut menjadi ukuran dan pembatas yang membuat si arsitek takut untuk berkreasi diluar atmosfer zamannya. Apalagi pada masa lalu, pengaruh kekuasaan sangat dominan dan demokratisasi belum berkembang.

Disisi lain, disain akan memunculkan kreativitas yang baik bila independensi proses kreativitas individual, otonomi imajinasi seni si arsitek lebih besar. Yaitu bagaimana ia menginterpretasikan permasalahan sosial budaya masyarakat yang sedang berkembang dengan prediksi-prediksi yang jauh ke depan. Dan kemudian memunculkan bentuk-bentuk spektakuler, yang menyentuh jiwa serta memberi warna bagi kehidupan itu sendiri. Arsitek dituntut berfikir desain dan menghasilkan sesuatu yang “dari tidak ada menjadi ada”. Arsitek adalah tukang mimpi dan penghayal, namun demikian dia adalah pemimpi yang terukur. Mimpi yang dapat diwujudkan secara fisik bangunan atau kawasan binaan. Alhasil, arsitek seringkali menghasilkan produk – bentuk -yang tak terbayangkan oleh orang awam sebelumnya, bahkan bisa jadi bentuk yang tidak lazim pada masanya (aneh).

Intonasi mazhab yang nyaring dan teori-teori yang ada menjadikan hasil disain para arsitek menjadi relatif sama sehingga bila ahli sejarah memilah-milah akan memunculkan periode-isasi, generasi-generasi, langgam atau zaman tersendiri dalam dunia arsitektur! Dengan kata lain hasil karya aristektur tidak memiliki warna! Pernahkah arsitek pada masa Renaissance berfikir tentang disain modern seperti sekarang? Atau pernahkan arsitek masa itu berfikir tentang disain hunian ke depan atau melampaui jamannya, seperti halnya Julles Verne (Novelis/astronom) abad 16 berfikir tentang perjalanan dan hidup di bulan padahal teknologi pesawat ruang angkasa rekaman foto saat ruang angkasa itu belum ada !

Untuk arsitek sekarang, dimana demokratisisai sudah jauh lebih baik namun tekanan Market (Kapitalisasi) yang kuat, integritas arsitek ditantang untuk mampu dan berani berfikir disain yang jauh kedepan melintasi jaman, sekaligus menjadi pembuat artifak budaya yang peka pada masalah sosial saat ini.

Lalu, bagaimana sikap arsitek menghadapi tekanan pasar, kolega dan masyarakat bila ingin berfikir lain-jauh melampau jaman? Inilah pertanyaan besar dan mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu.

Jumat, 29 Oktober 2010

Revitalisasi Kawasan Kota

Kawasan perkotaan di Indonesia dalam perkembangannya cenderung mengalami permasalahan yang serupa, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Berdasarkan hasil laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson, 2006 menuliskan bahwa telah terjadi pertambahan penduduk perkotaan didunia, pada tahun 2000 sekitar 50% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Sementara itu laporan dari United Nations dan World Bank juga menunjukkan perkembangan yang relatif tinggi untuk penduduk negara berkembang, dikatakan dalam laporan tersebut bahwa pada tahun 2050, lebih dari 85% penduduk di dunia akan hidup di negara berkembang dan 80% dari penduduk di negara berkembang tersebut akan hidup di perkotaan.


Fakta sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan industrialisasi selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel. Pengalaman empiris dari negara-negara industri maju telah membuktikan kebenaran dari tesis tersebut. Pertambahan penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju urbanisasi dan industrialisasi ini pada gilirannya telah mengakibatkan pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan sangat kuatnya. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini dihadapi oleh banyak kota-kota besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung.

Lahan akhirnya merupakan sumber daya utama kota yang sangat kritikal, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kota yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (revitalisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Hal terakhir inilah yang disebut revitalisasi.

Selanjutnya dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk mem-vital-kan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kota, seperti pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan kota yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota.

Globalisasi dan Modernitas
Aspek yang membedakan kota-kota besar kita pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang adalah: Jumlah penduduk; Tingkat pendapatan perkapita; Tingkat kecanggihan teknologi; serta Tata nilai/perilaku masyarakat yang semakin bersifat universal. Aspek terakhir ini, perilaku, sangat terpengaruh oleh teknologi informasi. Keempat aspek tersebut akan merupakan basis yang mendasari bentuk sisi permintaan yang harus diakomodasikan oleh kota. Sisi permintaan ini berkait erat dengan kebutuhan akan lahan serta tingkat intensitas pemanfaatannya, serta berbagai bentuk infrastruktur sosial yang berkait erat dengan perilaku baru masyarakat.

Artinya kebutuhan akan lahan tidak lagi hanya didasarkan kepada luasnya, tetapi juga didasarkan pada tingkat optimasi pemanfaatannya serta sifat penggunaannya. Sebagai ilustrasi, peruntukan lahan yang bersifat tunggal (mono-use) sudah mulai ditinggalkan, sedang kecenderungan pemanfaatan lahan dengan fungsi majemuk (multi-use) secara terpadu dan berskala besar (misalnya, konsep superblok, seperti terdapat pada beberapa tempat di Jakarta yang menggabungkan antara Apartemen sebagai living house dengan tempat berbelanja dan kantor) mulai berkembang dengan pesat. Namun, harus disadari bahwa sisi permintaan yang didikte kekuatan pasar ini tidak boleh dilepas tanpa kendali.

Kota bukan sekedar mesin ekonomi, tetapi kota juga merupakan wujud organisasi sosial-budaya masyarakat yang harus dijaga keseimbangan, keadilan serta kesinambungan eksistensinya. Jelas di sini, selain pertumbuhan yang bersifat fisik (growth), berlangsung juga proses perubahan dalam perilaku masyarakat yang memang merupakan bagian dari proses evaluasi peradaban manusia (social changes).
Intervensi perencanaan dan perancangan kota yang peka terhadap fenomena di masyarakat ini, oleh karena itu menjadi tidak terhindarkan. Intervensi kebijakan perencanaan kota tidak hanya harus kreatif, akan tetapi juga harus inovatif. Hal ini dapat dipahami karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak (public needs), serta menyangkut pula proses penataan lahan kota yang sudah terbangun, yang pengadaannya semakin terbatas.

Selanjutnya intervensi kebijakan perencanaan dan perancangan kota harus dilihat sebagai instrumen untuk mengelola pertumbuhan dan perubahan. Pertumbuhan dapat bersifat ekspansi wilayah atau pemekaran kota (ekstensif) secara fisik, akan tetapi juga bisa bersifat pemadatan (intensif) kawasan di dalam wilayah kota.
Dalam konteks ini revitalisasi adalah upaya mengelola pertumbuhan yang bersifat pemadatan pada bagian ataupun kawasan kota yang telah terbangun serta mengalami degradasi agar supaya bagian-bagian kota tersebut vital kembali sesuai dengan the highest and the best use dari bagian-bagian kota tersebut.
Kita saat ini hidup dalam era perubahan yang cepat, dan kekuatan-kekuatan (ekonomi, sosial budaya, politik dan teknologi) tersebut ada di sekitar kita. Semuanya merupakan kekuatan yang bertanggung jawab dalam proses pembentukan lingkungan perkotaan yang kita huni. Jadi, kita harus mampu mengantisipasi perubahan ini dan ke arah mana perubahan tersebut akan membantu kita.

Oleh karena itu, kita harus mampu menanggapi serta mampu memperkirakan ke arah mana semua perubahan ini akan membawa kita. Dengan informasi yang diperoleh, kita seharusnya dapat menciptakan piranti pengendali untuk mengarahkan pembangunan kota. Untuk itu, kita harus bertindak secara proaktif dan bukan secara reaktif, serta berani mengambil tindakan yang tepat dan terencana.

Globalisasi pun telah membawa kita masuk ke dalam sistem ekonomi dunia yang tidak lagi mengenal batasan geografis (Sassen, 1991). Globalisasi berarti pula bahwa modal kuat milik korporasi multinasional beroperasi secara internasional, dan ini merupakan isu tersendiri di bidang perencanaan dan perancangan kota yang perlu ditanggapi. Masuknya modal kuat dari luar berarti pula masuknya norma-norma universal yang menyebarluaskan doktrin-doktrin perancangan modern yang mereka anggap dapat memberikan pemecahan bagi berbagai permasalahan (perencanaan dan perancangan) untuk semua tempat di muka bumi ini. Dalam praktiknya, isu-isu dan dimensi sosial-budaya serta tradisi lokal sering disalah-artikan, diabaikan, atau bahkan dianggap tidak penting. Hasilnya adalah penerapan di dalam konteks yang keliru dari metoda-metoda Barat, standar-standar yang berlebihan, serta teknologi yang tidak sesuai dengan norma-norma dan budaya lokal setempat.

Namun, kelihatannya kenyataan ini tidak terhindarkan, bahkan kota-kota besar kita secara berlanjut akan masih terus didominasi oleh konsep-konsep perancangan kota yang didikte kekuatan ekonomi multinasional dan menjadikan lingkungan perkotaan kita sebagai koloni mereka. Kenyataan ini semakin mendekatkan pada ciri wajah kota-kota besar kita kepada kota-kota dunia lainnya, dan semakin menipisnya nilai-nilai jati diri serta identitas lokal yang pernah dimiliki oleh lingkungan kota-kota kita. Hal ini mulai marak terlihat juga dibeberapa lokasi di kota Bandung, tempat ‘kongkow-kongkow’ anak muda di Ciwalk & Paris van Java misalnya, sudah sangat sulit bagi kita untuk membedakan apakah kita sedang berada di bandung atau di Orchad Road Singapore. Tempat hanging out tersebut sangat mungkin memunculkan budaya konsumerisme ala barat dan miskin nilai-nilai budaya lokal.

Garis langit kota-kota kita akan tetap didominasi oleh refleksi dari kekuatan-kekuatan ekonomi multinasional atau bahkan kekuatan-kekuatan besar lainnya (Evers/Korff, 2000). Dilemanya adalah bahwa pada sisi lain dari cakrawala kota, tidak terlalu jauh dari kemegahan arsitektur kota yang formal tersebut, muncul berbagai bentuk bangunan tidak formal dengan penampilan kumuh yang tumbuh dan berkembang secara cepat bersama waktu, dan ini semua memberi kesan semakin tajam ketidakadilan sosial ekonomi. Apakah kenyataan ini merupakan identitas lokal wajah kota kita?

Kita harus sadari pula bahwa kita hidup di dalam tata ruang yang diciptakan oleh pengambil keputusan masa lalu, dan itu tanpa disadari telah membentuk perilaku kita dan sekaligus persoalan-persoalan baru pada saat ini. Tata ruang masa depan adalah tanggung jawab para pengambil keputusan hari ini, oleh karenanya mereka perlu untuk benar-benar mengerti tentang apa yang sebenarnya kita kehendaki dari masa depan, mengingat keputusan-keputusan yang diambil hari ini akan mempunyai dampak yang luar biasa pada kehidupan mendatang. Untuk mengantisipasinya diperlukan sebuah skenario tentang tata ruang masa depan berdasarkan persepsi serta analisis yang matang, serta harus dapat diformulasikan secara serius dan teliti. Dengan alasan inilah, keputusan-keputusan yang diambil hari ini harus dilandasi oleh imajinasi serta konsep-konsep yang kreatif serta inovatif tentang masa depan kita.

Revitalisasi dan rancang Kota
Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan mudah diamati pada kawasan kota bersejarah/tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000). Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Namun bukan berarti bahwa kegiatan revitalisasi hanya terbatas kawasan kota bersejarah/tua.
Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut:

Intervensi Fisik
Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan. Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.

Rehabilitasi Ekonomi
Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P.Hall/U.Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).

Revitalisasi Sosial atau Institusional
Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga. Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.
Dari uraian di atas, kota yang baik harus merupakan satu kesatuan sistem organisasi terpadu, baik yang bersifat sosial, visual, maupun fisik. Oleh karenanya, kota jangan hanya direncanakan, tetapi kota juga harus dirancang, terutama dalam skala mikro kota. Kehadiran rancang kota, yang secara universal dikenal dengan sebutan urban design sekaligus, akan merupakan jembatan yang diperlukan untuk menghubungkan secara layak berbagai kebijaksanaan perencanaan kota dengan produk-produk rancangan fisiknya seperti seni bangunan /arsitektur. Sebagai penyambung antara perencanaan kota dan perancangan arsitektural, rancang kota sekaligus merupakan suatu perangkat panduan bagi terwujudnya lingkungan binaan yang tanggap terhadap berbagai isu lingkungan yang bersifat fisik maupun non-fisik.

Rancang kota sangat berkepentingan dengan kualitas ruang kota, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Sebagai jembatan antara perencanaan kota dan perancangan arsitektur (baik bangunan maupun ruang-ruang luar di antaranya), rancangan kota bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun demikian, urban design akan sangat menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang kita huni ini. Jadi, urban design harus dilihat sebagai suatu proses yang memberikan arahan bagi terwujudnya suatu lingkungan binaan fisik yang layak dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap kemampuan sumber daya setempat, daya dukung lahan serta merujuk kepada lokalitas.

Produk rancangan kota merupakan rangkaian kebijaksanaan pembangunan fisik yang menyangkut serta mengutamakan kepentingan umum. Kebijaksanaan pembangunan ini diturunkan dan dirumuskan dari sasaran pembangunan yang ingin dicapai, terutama yang menyangkut kualitas lingkungan hidup. Urban design oleh karenanya lebih berkepentingan dengan fenomena yang berlangsung di dalam ruang kota dan tidak hanya melihat ruang kota itu sebagai objek yang harus digarap. Bukan saja aspek keindahan arsitektur kota yang diutamakan, melainkan bagaimana seharusnya ruang kota itu berfungsi!

Sebagai sebuah perangkat pengarah pembangunan urban design harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga perangkat tersebut mampu mempromosikan pengembangan dan bukan sebaliknya. Sebagai contoh: suatu bagian kawasan di dalam kota yang tadinya memiliki vitalitas yang tinggi kemudian mengalami kemunduran karena berbagai prasarana/sarana yang ada sudah menjadi tua dan tidak memadai lagi. Kawasan tersebut kemudian menjadi tidak produktif dan tidak mampu lagi memberikan kontribusi yang positif kepada kehidupan kota. Selain itu, secara fisik kawasan tersebut mengalami degradasi lingkungan yang kian lama semakin buruk, sehingga membawa dampak yang buruk, antara lain semakin menurunnya kualitas lingkungan tersebut. Peremajaan kota pada akhirnya merupakan jalan keluar untuk menata kembali kawasan tersebut. Didalam konteks daur-ulang lahan kota, proses rancang kota perlu diterapkan untuk mencapai sasaran peremajaan yang telah ditetapkan.

Dapat disimpulkan bahwa rancang kota urban design adalah suatu proses yang sekaligus merupakan suatu sasaran. Sebagai suatu proses, rancang kota merupakan piranti yang akan menentukan wujud akhir dari lingkungan binaan urban yang terbentuk oleh kumpulan produk hasil keputusan pembangunan yang telah diambil baik di sektor umum (publik) maupun di sektor swasta. Oleh karena itu, rancangan kota merupakan suatu proses di mana kinerja, bentuk, serta keterkaitan antara ruang-ruang kota secara sengaja diarahkan serta dikendalikan perwujudannya agar tercipta suatu lingkungan binaan kota yang terpadu secara utuh. Rancang kota juga harus mampu mengakomodasi kebutuhan sosial budaya serta kebutuhan fungsional dari komunitas; dan ini sangat penting terutama bagi negara seperti Indonesia, dimana kondisi sosial-budaya masyarakatnya masih berada dalam masa transfomasi. Sebagai suatu sasaran, rancangan kota adalah kualitas yakni, kualitas fungsional, kualitas visual dan kualitas lingkungan, dimana rancang kota sebagai suatu proses adalah wahana untuk mencapainya.

Namun, kelemahan dari banyak rencana kota yang ada saat ini dapat dilihat di dalam pendekatannya. Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fisik (physical arti-fact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact). Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat wajah kota semakin mirip antar satu kota dengan kota lainnya di dunia. Perangkat rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum dapat dipakai secara sempurna untuk mengendalikan wujud kota, secara umumpun belum dapat memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban, situasi dan kondisi serta masyarakat yang ada. Dengan kata lain, masih ada kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga dimensi.

Untuk mencapai wujud akhir ruang binaan kota yang dikehendaki, terutama yang proses pembentukannya memerlukan waktu yang lama, dirasakan perlu adanya seperangkat piranti yang dapat mengarahkan serta mengendalikan proses pembentukannya.

Penutup
Revitalisasi adalah upaya untuk mengembalikan serta menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada pada kawasan kota yang mengalami degradasi, melalui intervensi fisik dan nonfisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial-budaya serta pengembangan institusional). Selain itu, pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).
Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota. Rancang kota merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.

Referensi
  • Evers, Hans-Dieter/RĂ¼diger Korff: Southeast Asian Urbanism, The Making and Power of Social Space, St. Martin Press, New York, 2000.
  • Hall, Peter/Ulrich Pfeiffer: Urban Future 21, A Global Agenda for Twenty-first Century Cities, E & FN Spon, London, 2000.
  • Sassen, Saskia: The Global City. Princenton University Press, New York, 1991.
  • The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson, 2006.
  • Dilengkapi dari berbagai sumber

HAL‐HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PEMILIHAN PRODUK BAJA RINGAN

1. Peraturan Struktur Baja Ringan & Standarisasi Yang Digunakan.
    Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa belum ada peraturan
konstruksi baja ringan yang bersifat mengikat di Indonesia hingga saat ini, untuk
itu dalam pemilihan produk baja ringan yang perlu dicermati adalah :
a) PERATURAN PEMBEBANAN
b) BAHAN & MATERIAL
c) LAPISAN ANTI KARAT ATAU COATING
d) PERATURAN STRUKTUR YANG DIGUNAKAN
Perusahaan baja ringan yang berkualitas biasanya dapat menunjukkan
lampiran standarisasi peraturan tersebut di atas. Peraturan‐peraturan tersebut
biasanya mengacu pada peraturan konstruksi baja ringan dari negara lain, yaitu
negara‐negara yang telah menetapkan standarisasi di bidang konstruksi rangka
atap baja ringan.

2. Gambar Detail Bracing ( Pengaku ).
     Jangan mudah tertipu dengan penawaran dari perusahaan baja ringan
yang hanya mencantumkan jenis atau tipe kuda‐kudanya saja. Faktanya adalah
kekuatan utama suatu struktur kuda‐kuda baja ringan terletak pada HUBUNGAN
STRUKTUR ANTAR KUDA‐ KUDA, dalam hal ini BRACING atau PENGAKU lah yang
memegang peranan utama.

Tips : Mintalah gambar detail bracing dan kuda-kuda (termaksud jumlah screw pada buhul dan sambungan) dalam setiap surat penawaran, perusahaan baja ringan yang kompeten selalu melampirkannya.

3. Sistem Pemasangan ( Connector Yang Digunakan ).
    Mengingat beban pada tumpuan kuda‐kuda sangat besar hingga
mencapai lebih dari 2 ton untuk atap genteng keramik atau genteng beton
dengan bentangan kuda‐kuda yang lebar, maka diperlukan adanya desain khusus
untuk menahan beban tekan, beban angin, ataupun beban‐beban lainnya dalam
waktu yang bersamaan. Akibat dari beban‐beban tersebut diperlukan adanya
connector baik itu berupa screw, alat panyambung, ataupun sistem struktur yang
dapat menjamin kekuatan suatu konstruksi baja ringan.
Perusahaan baja ringan yang mengutamakan keamanan dan kualitas
biasanya mempunyai sistem struktur ataupun connector khusus yang telah
didesain sedemikian rupa sehingga akan menjamin keamanan dan kekuatan
struktur dalam jangka panjang.
Untuk itu mintalah penjelasan tentang berbagai macam connector beserta
masing‐masing fungsinya yang dimiliki oleh suatu perusahaan penyedia baja
ringan.

4. Jaminan Struktur & Bahan ( Surat Garansi ).
    Pernahkah Anda melihat berita baik itu di media cetak maupun elektronik
yang memberitakan kerobohan suatu konstruksi baja ringan ? Tahukah Anda
bahwa hampir semua perusahaan konstruksi baja ringan yang mengalami
kegagalan struktur hingga mengakibatkan kerobohan memberikan surat garansi
struktur dan bahan ? Ironinya lagi, bahkan ada yang memberikan surat garansi
atau jaminan struktur hingga diatas 10 tahun atau bahkan ada yang mencapai 20
tahun tapi pada kenyataanya dalam hitungan bulan, struktur baja ringan tersebut
sudah mengalami kerobohan.

Dari hal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa surat garansi yang
dikeluarkan perusahaan baja ringan tidak menjamin bahwa konstruksi baja ringan
yang di pasang tersebut akan bertahan lama seperti waktu yang dijanjikan.

Oleh karena itu yang perlu dicermati dalam surat garansi adalah siapa
yang bertanggungjawab terhadap surat garansi tersebut ?


Bisa Anda bayangkan suatu perusahaan baja ringan berani memberikan
surat garansi hingga 20 tahun bahkan seumur hidup tapi umur perusahaannya
sendiri baru 6 bulan atau 1 tahun. Oleh karena itu track record, kredibilitas, dan
kompetensi perusahaan yang bertanggung jawab dan menjamin surat garansi
menjadi pertimbangan utama dalam memilih produk atau perusahaan baja
ringan selain ketiga hal yang telah dijelaskan di atas.


Meskipun begitu keputusan ada di tangan Anda, semoga Anda dapat mengambil
keputusan yang tepat dengan tidak mengambil resiko yang tidak diinginkan;
nama baik, kredibilitas perusahaan, dan nyawa seseorang, semua
diperhitungkan dalam pengambilan keputusan ini. SUKSES UNTUK ANDA !!

KESELARASAN hidup manusia dan alam terangkum dalam konsep arsitektur hijau. Konsep yang kini tengah digalakkan dalam kehidupan manusia modern.

Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan pada bangunan yang dapat meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan. Arsitektur hijau meliputi lebih dari sebuah bangunan.

Dalam perencanaannya, harus meliputi lingkungan utama yang berkelanjutan. "Untuk pemahaman dasar arsitektur hijau (green architecture) yang berkelanjutan, di antaranya lanskap, interior, dan segi arsitekturnya menjadi satu kesatuan," ujar Nirwono Yoga, desainer lanskap yang juga pemerhati lingkungan.

Dalam perhitungan kasar, jika luas rumah adalah 150 meter persegi, dengan pemakaian lahan untuk bangunan adalah 100 meter persegi, maka sisa 50 meter lahan hijau harus digenapkan dengan memberdayakan potensi sekitar. Nirwono mencontohkan, pemberdayaan atap menjadi konsep roof garden dan green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Selain itu, tujuan pokok arsitektur hijau adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan.

"Arsitektur hijau dipraktikkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air, dan bahan-bahan, mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan melalui tata letak, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan bangunan," ulas Dr Mauro Rahardjo dari Feng Shui School Indonesia.

Secara matematis disebutkan, konsumsi 300 liter air harus dapat dikembalikan sepenuhnya ke tanah. Misalkan, air sisa cuci sayur dapat digunakan untuk mencuci mobil. "Atau membuat sumur resapan dan biopori," kata Nirwono.

Dalam hal estetika, arsitektur hijau terletak pada filosofi merancang bangunan yang harmonis dengan sifat-sifat dan sumber alam yang ada di sekelilingnya. Penggunaan bahan bangunan yang dikembangkan dari bahan alam dan bahan bangunan yang dapat diperbaharui.

"Memanfaatkan sumber yang dapat diperbaharui seperti menggunakan sinar matahari melalui passive solar dan active solar, serta teknik photovoltaic dengan menggunakan tanaman dan pohon-pohon melalui atap hijau dan taman hujan," kata Mauro.

Konsep arsitektur hijau sangat mendukung program penghematan energi. Rumah ala tropis dengan banyak bukaan, dibentuk untuk mengurangi pemakaian AC juga penerangan. Namun, hal tersebut tidak akan berjalan mulus jika sekeliling rumah tidak asri. Bukaan banyak hanya akan memasukkan udara panas dan membuat pemiliknya tetap memasang pendingin ruangan.

Taman dan halaman dalam arsitektur hijau juga tidak sekadar memperhatikan estetika. "Dengan adanya krisis pangan, gagasan roof garden bisa jadi apotek hidup atau kebun sayuran. Tidak zaman lagi bikin taman dari segi estetis saja," sebut Nirwono. Tanaman sayur ditata serapi mungkin, kemudian dikonsumsi pemiliknya. Beberapa tanaman yang cocok untuk roof garden adalah daun sirih, pandan sayur, kangkung, dan lain-lainnya.

Nirwono menjelaskan adanya keselarasan antartiap sendi dalam kehidupan. Orang bicara konsep hijau, tapi tidak jeli dengan sekitar. Krisis energi muncul akibat kelemahan manusia dalam memenuhi kebutuhan. Manusia menunggu datangnya bahan pangan dari luar kota. Sayur tomat yang bisa ditanam di halaman, tidak menjadi pilihan pertama. Lebih suka menunggu truk sayur membawa dari luar kota. Coba pikir, berapa banyak energi yang terbuang.

Sebuah perusahaan di Jerman melansir produk batu bata ramah lingkungan. Nyatanya, produk tersebut tidak jadi ramah lingkungan jika mesti dibawa menggunakan kapal laut ke luar Jerman. Sebaiknya kita mampu menggunakan batu bata sendiri, dengan biaya dan peluang pemborosan energi lebih sedikit. Struktur bangunan asli Indonesia sudah menerapkan prinsip green architecture.

"Struktur bangunan di Jawa dan Irian, jenis arsitektur tropis memanfaatkan bahan asli dari daerah tersebut," ucap pria ramah ini. Dengan segala keterbatasan, nenek moyang kita membangun rumah tepat daya dan guna.

Dari segi interior, arsitektur hijau mensyaratkan dekorasi dan perabotan tidak perlu berlebihan, saniter lebih baik, dapur bersih, desain hemat energi, kemudahan air bersih, luas dan jumlah ruang sesuai kebutuhan, bahan bangunan berkualitas dan konstruksi lebih kuat, serta saluran air bersih. Untuk mengatasi limbah sampah, lubang biopori dapat menjadi solusi.