Jumat, 29 Oktober 2010

Revitalisasi Kawasan Kota

Kawasan perkotaan di Indonesia dalam perkembangannya cenderung mengalami permasalahan yang serupa, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Berdasarkan hasil laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson, 2006 menuliskan bahwa telah terjadi pertambahan penduduk perkotaan didunia, pada tahun 2000 sekitar 50% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Sementara itu laporan dari United Nations dan World Bank juga menunjukkan perkembangan yang relatif tinggi untuk penduduk negara berkembang, dikatakan dalam laporan tersebut bahwa pada tahun 2050, lebih dari 85% penduduk di dunia akan hidup di negara berkembang dan 80% dari penduduk di negara berkembang tersebut akan hidup di perkotaan.


Fakta sejarah menunjukkan bahwa urbanisasi dan industrialisasi selalu merupakan fenomena yang berjalan secara paralel. Pengalaman empiris dari negara-negara industri maju telah membuktikan kebenaran dari tesis tersebut. Pertambahan penduduk yang terjadi sebagai akibat dari laju urbanisasi dan industrialisasi ini pada gilirannya telah mengakibatkan pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya permintaan akan lahan kota dengan sangat kuatnya. Dengan persediaan lahan yang semakin terbatas, maka gejala kenaikan harga lahan tak terhindarkan lagi. Lahan telah menjadi suatu komoditas yang nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar. Kenyataan yang sama saat ini dihadapi oleh banyak kota-kota besar di dunia, termasuk juga kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung.

Lahan akhirnya merupakan sumber daya utama kota yang sangat kritikal, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Satu-satunya jalan keluar adalah mencari upaya yang paling sesuai untuk meningkatkan kemampuan daya tampung lahan yang ada agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar lagi bagi kelangsungan hidup kota yang lebih baik. Maka lahirlah upaya untuk mendaur-ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (revitalisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Hal terakhir inilah yang disebut revitalisasi.

Selanjutnya dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk mem-vital-kan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kota, seperti pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan kota yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kota.

Globalisasi dan Modernitas
Aspek yang membedakan kota-kota besar kita pada masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang adalah: Jumlah penduduk; Tingkat pendapatan perkapita; Tingkat kecanggihan teknologi; serta Tata nilai/perilaku masyarakat yang semakin bersifat universal. Aspek terakhir ini, perilaku, sangat terpengaruh oleh teknologi informasi. Keempat aspek tersebut akan merupakan basis yang mendasari bentuk sisi permintaan yang harus diakomodasikan oleh kota. Sisi permintaan ini berkait erat dengan kebutuhan akan lahan serta tingkat intensitas pemanfaatannya, serta berbagai bentuk infrastruktur sosial yang berkait erat dengan perilaku baru masyarakat.

Artinya kebutuhan akan lahan tidak lagi hanya didasarkan kepada luasnya, tetapi juga didasarkan pada tingkat optimasi pemanfaatannya serta sifat penggunaannya. Sebagai ilustrasi, peruntukan lahan yang bersifat tunggal (mono-use) sudah mulai ditinggalkan, sedang kecenderungan pemanfaatan lahan dengan fungsi majemuk (multi-use) secara terpadu dan berskala besar (misalnya, konsep superblok, seperti terdapat pada beberapa tempat di Jakarta yang menggabungkan antara Apartemen sebagai living house dengan tempat berbelanja dan kantor) mulai berkembang dengan pesat. Namun, harus disadari bahwa sisi permintaan yang didikte kekuatan pasar ini tidak boleh dilepas tanpa kendali.

Kota bukan sekedar mesin ekonomi, tetapi kota juga merupakan wujud organisasi sosial-budaya masyarakat yang harus dijaga keseimbangan, keadilan serta kesinambungan eksistensinya. Jelas di sini, selain pertumbuhan yang bersifat fisik (growth), berlangsung juga proses perubahan dalam perilaku masyarakat yang memang merupakan bagian dari proses evaluasi peradaban manusia (social changes).
Intervensi perencanaan dan perancangan kota yang peka terhadap fenomena di masyarakat ini, oleh karena itu menjadi tidak terhindarkan. Intervensi kebijakan perencanaan kota tidak hanya harus kreatif, akan tetapi juga harus inovatif. Hal ini dapat dipahami karena berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak (public needs), serta menyangkut pula proses penataan lahan kota yang sudah terbangun, yang pengadaannya semakin terbatas.

Selanjutnya intervensi kebijakan perencanaan dan perancangan kota harus dilihat sebagai instrumen untuk mengelola pertumbuhan dan perubahan. Pertumbuhan dapat bersifat ekspansi wilayah atau pemekaran kota (ekstensif) secara fisik, akan tetapi juga bisa bersifat pemadatan (intensif) kawasan di dalam wilayah kota.
Dalam konteks ini revitalisasi adalah upaya mengelola pertumbuhan yang bersifat pemadatan pada bagian ataupun kawasan kota yang telah terbangun serta mengalami degradasi agar supaya bagian-bagian kota tersebut vital kembali sesuai dengan the highest and the best use dari bagian-bagian kota tersebut.
Kita saat ini hidup dalam era perubahan yang cepat, dan kekuatan-kekuatan (ekonomi, sosial budaya, politik dan teknologi) tersebut ada di sekitar kita. Semuanya merupakan kekuatan yang bertanggung jawab dalam proses pembentukan lingkungan perkotaan yang kita huni. Jadi, kita harus mampu mengantisipasi perubahan ini dan ke arah mana perubahan tersebut akan membantu kita.

Oleh karena itu, kita harus mampu menanggapi serta mampu memperkirakan ke arah mana semua perubahan ini akan membawa kita. Dengan informasi yang diperoleh, kita seharusnya dapat menciptakan piranti pengendali untuk mengarahkan pembangunan kota. Untuk itu, kita harus bertindak secara proaktif dan bukan secara reaktif, serta berani mengambil tindakan yang tepat dan terencana.

Globalisasi pun telah membawa kita masuk ke dalam sistem ekonomi dunia yang tidak lagi mengenal batasan geografis (Sassen, 1991). Globalisasi berarti pula bahwa modal kuat milik korporasi multinasional beroperasi secara internasional, dan ini merupakan isu tersendiri di bidang perencanaan dan perancangan kota yang perlu ditanggapi. Masuknya modal kuat dari luar berarti pula masuknya norma-norma universal yang menyebarluaskan doktrin-doktrin perancangan modern yang mereka anggap dapat memberikan pemecahan bagi berbagai permasalahan (perencanaan dan perancangan) untuk semua tempat di muka bumi ini. Dalam praktiknya, isu-isu dan dimensi sosial-budaya serta tradisi lokal sering disalah-artikan, diabaikan, atau bahkan dianggap tidak penting. Hasilnya adalah penerapan di dalam konteks yang keliru dari metoda-metoda Barat, standar-standar yang berlebihan, serta teknologi yang tidak sesuai dengan norma-norma dan budaya lokal setempat.

Namun, kelihatannya kenyataan ini tidak terhindarkan, bahkan kota-kota besar kita secara berlanjut akan masih terus didominasi oleh konsep-konsep perancangan kota yang didikte kekuatan ekonomi multinasional dan menjadikan lingkungan perkotaan kita sebagai koloni mereka. Kenyataan ini semakin mendekatkan pada ciri wajah kota-kota besar kita kepada kota-kota dunia lainnya, dan semakin menipisnya nilai-nilai jati diri serta identitas lokal yang pernah dimiliki oleh lingkungan kota-kota kita. Hal ini mulai marak terlihat juga dibeberapa lokasi di kota Bandung, tempat ‘kongkow-kongkow’ anak muda di Ciwalk & Paris van Java misalnya, sudah sangat sulit bagi kita untuk membedakan apakah kita sedang berada di bandung atau di Orchad Road Singapore. Tempat hanging out tersebut sangat mungkin memunculkan budaya konsumerisme ala barat dan miskin nilai-nilai budaya lokal.

Garis langit kota-kota kita akan tetap didominasi oleh refleksi dari kekuatan-kekuatan ekonomi multinasional atau bahkan kekuatan-kekuatan besar lainnya (Evers/Korff, 2000). Dilemanya adalah bahwa pada sisi lain dari cakrawala kota, tidak terlalu jauh dari kemegahan arsitektur kota yang formal tersebut, muncul berbagai bentuk bangunan tidak formal dengan penampilan kumuh yang tumbuh dan berkembang secara cepat bersama waktu, dan ini semua memberi kesan semakin tajam ketidakadilan sosial ekonomi. Apakah kenyataan ini merupakan identitas lokal wajah kota kita?

Kita harus sadari pula bahwa kita hidup di dalam tata ruang yang diciptakan oleh pengambil keputusan masa lalu, dan itu tanpa disadari telah membentuk perilaku kita dan sekaligus persoalan-persoalan baru pada saat ini. Tata ruang masa depan adalah tanggung jawab para pengambil keputusan hari ini, oleh karenanya mereka perlu untuk benar-benar mengerti tentang apa yang sebenarnya kita kehendaki dari masa depan, mengingat keputusan-keputusan yang diambil hari ini akan mempunyai dampak yang luar biasa pada kehidupan mendatang. Untuk mengantisipasinya diperlukan sebuah skenario tentang tata ruang masa depan berdasarkan persepsi serta analisis yang matang, serta harus dapat diformulasikan secara serius dan teliti. Dengan alasan inilah, keputusan-keputusan yang diambil hari ini harus dilandasi oleh imajinasi serta konsep-konsep yang kreatif serta inovatif tentang masa depan kita.

Revitalisasi dan rancang Kota
Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan mudah diamati pada kawasan kota bersejarah/tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000). Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Namun bukan berarti bahwa kegiatan revitalisasi hanya terbatas kawasan kota bersejarah/tua.
Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota.
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan membutuhkan kurun waktu tertentu serta meliputi hal-hal sebagai berikut:

Intervensi Fisik
Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka kawasan. Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan kondisi visual kawasan khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka panjang.

Rehabilitasi Ekonomi
Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberikan nilai tambah bagi kawasan kota (P.Hall/U.Pfeiffer, 2001). Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas baru).

Revitalisasi Sosial atau Institusional
Keberhasilan revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place. Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan dinamika dan kehidupan sosial masyarakat/warga. Sudah menjadi sebuah tuntutan yang logis, bahwa kegiatan perancangan dan pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan sosial yang berjati diri dan hal ini pun selanjutnya perlu didukung oleh suatu pengembangan institusi yang baik.
Dari uraian di atas, kota yang baik harus merupakan satu kesatuan sistem organisasi terpadu, baik yang bersifat sosial, visual, maupun fisik. Oleh karenanya, kota jangan hanya direncanakan, tetapi kota juga harus dirancang, terutama dalam skala mikro kota. Kehadiran rancang kota, yang secara universal dikenal dengan sebutan urban design sekaligus, akan merupakan jembatan yang diperlukan untuk menghubungkan secara layak berbagai kebijaksanaan perencanaan kota dengan produk-produk rancangan fisiknya seperti seni bangunan /arsitektur. Sebagai penyambung antara perencanaan kota dan perancangan arsitektural, rancang kota sekaligus merupakan suatu perangkat panduan bagi terwujudnya lingkungan binaan yang tanggap terhadap berbagai isu lingkungan yang bersifat fisik maupun non-fisik.

Rancang kota sangat berkepentingan dengan kualitas ruang kota, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik. Sebagai jembatan antara perencanaan kota dan perancangan arsitektur (baik bangunan maupun ruang-ruang luar di antaranya), rancangan kota bukanlah merupakan suatu produk akhir. Namun demikian, urban design akan sangat menentukan kualitas dari produk akhirnya, yaitu lingkungan binaan yang kita huni ini. Jadi, urban design harus dilihat sebagai suatu proses yang memberikan arahan bagi terwujudnya suatu lingkungan binaan fisik yang layak dan sesuai dengan aspirasi masyarakat, ramah terhadap kemampuan sumber daya setempat, daya dukung lahan serta merujuk kepada lokalitas.

Produk rancangan kota merupakan rangkaian kebijaksanaan pembangunan fisik yang menyangkut serta mengutamakan kepentingan umum. Kebijaksanaan pembangunan ini diturunkan dan dirumuskan dari sasaran pembangunan yang ingin dicapai, terutama yang menyangkut kualitas lingkungan hidup. Urban design oleh karenanya lebih berkepentingan dengan fenomena yang berlangsung di dalam ruang kota dan tidak hanya melihat ruang kota itu sebagai objek yang harus digarap. Bukan saja aspek keindahan arsitektur kota yang diutamakan, melainkan bagaimana seharusnya ruang kota itu berfungsi!

Sebagai sebuah perangkat pengarah pembangunan urban design harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga perangkat tersebut mampu mempromosikan pengembangan dan bukan sebaliknya. Sebagai contoh: suatu bagian kawasan di dalam kota yang tadinya memiliki vitalitas yang tinggi kemudian mengalami kemunduran karena berbagai prasarana/sarana yang ada sudah menjadi tua dan tidak memadai lagi. Kawasan tersebut kemudian menjadi tidak produktif dan tidak mampu lagi memberikan kontribusi yang positif kepada kehidupan kota. Selain itu, secara fisik kawasan tersebut mengalami degradasi lingkungan yang kian lama semakin buruk, sehingga membawa dampak yang buruk, antara lain semakin menurunnya kualitas lingkungan tersebut. Peremajaan kota pada akhirnya merupakan jalan keluar untuk menata kembali kawasan tersebut. Didalam konteks daur-ulang lahan kota, proses rancang kota perlu diterapkan untuk mencapai sasaran peremajaan yang telah ditetapkan.

Dapat disimpulkan bahwa rancang kota urban design adalah suatu proses yang sekaligus merupakan suatu sasaran. Sebagai suatu proses, rancang kota merupakan piranti yang akan menentukan wujud akhir dari lingkungan binaan urban yang terbentuk oleh kumpulan produk hasil keputusan pembangunan yang telah diambil baik di sektor umum (publik) maupun di sektor swasta. Oleh karena itu, rancangan kota merupakan suatu proses di mana kinerja, bentuk, serta keterkaitan antara ruang-ruang kota secara sengaja diarahkan serta dikendalikan perwujudannya agar tercipta suatu lingkungan binaan kota yang terpadu secara utuh. Rancang kota juga harus mampu mengakomodasi kebutuhan sosial budaya serta kebutuhan fungsional dari komunitas; dan ini sangat penting terutama bagi negara seperti Indonesia, dimana kondisi sosial-budaya masyarakatnya masih berada dalam masa transfomasi. Sebagai suatu sasaran, rancangan kota adalah kualitas yakni, kualitas fungsional, kualitas visual dan kualitas lingkungan, dimana rancang kota sebagai suatu proses adalah wahana untuk mencapainya.

Namun, kelemahan dari banyak rencana kota yang ada saat ini dapat dilihat di dalam pendekatannya. Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fisik (physical arti-fact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact). Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat wajah kota semakin mirip antar satu kota dengan kota lainnya di dunia. Perangkat rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum dapat dipakai secara sempurna untuk mengendalikan wujud kota, secara umumpun belum dapat memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban, situasi dan kondisi serta masyarakat yang ada. Dengan kata lain, masih ada kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga dimensi.

Untuk mencapai wujud akhir ruang binaan kota yang dikehendaki, terutama yang proses pembentukannya memerlukan waktu yang lama, dirasakan perlu adanya seperangkat piranti yang dapat mengarahkan serta mengendalikan proses pembentukannya.

Penutup
Revitalisasi adalah upaya untuk mengembalikan serta menghidupkan kembali vitalitas yang pernah ada pada kawasan kota yang mengalami degradasi, melalui intervensi fisik dan nonfisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial-budaya serta pengembangan institusional). Selain itu, pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra tempat).
Dengan dukungan mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota. Rancang kota merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru.

Referensi
  • Evers, Hans-Dieter/RĂ¼diger Korff: Southeast Asian Urbanism, The Making and Power of Social Space, St. Martin Press, New York, 2000.
  • Hall, Peter/Ulrich Pfeiffer: Urban Future 21, A Global Agenda for Twenty-first Century Cities, E & FN Spon, London, 2000.
  • Sassen, Saskia: The Global City. Princenton University Press, New York, 1991.
  • The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson, 2006.
  • Dilengkapi dari berbagai sumber

HAL‐HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PEMILIHAN PRODUK BAJA RINGAN

1. Peraturan Struktur Baja Ringan & Standarisasi Yang Digunakan.
    Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa belum ada peraturan
konstruksi baja ringan yang bersifat mengikat di Indonesia hingga saat ini, untuk
itu dalam pemilihan produk baja ringan yang perlu dicermati adalah :
a) PERATURAN PEMBEBANAN
b) BAHAN & MATERIAL
c) LAPISAN ANTI KARAT ATAU COATING
d) PERATURAN STRUKTUR YANG DIGUNAKAN
Perusahaan baja ringan yang berkualitas biasanya dapat menunjukkan
lampiran standarisasi peraturan tersebut di atas. Peraturan‐peraturan tersebut
biasanya mengacu pada peraturan konstruksi baja ringan dari negara lain, yaitu
negara‐negara yang telah menetapkan standarisasi di bidang konstruksi rangka
atap baja ringan.

2. Gambar Detail Bracing ( Pengaku ).
     Jangan mudah tertipu dengan penawaran dari perusahaan baja ringan
yang hanya mencantumkan jenis atau tipe kuda‐kudanya saja. Faktanya adalah
kekuatan utama suatu struktur kuda‐kuda baja ringan terletak pada HUBUNGAN
STRUKTUR ANTAR KUDA‐ KUDA, dalam hal ini BRACING atau PENGAKU lah yang
memegang peranan utama.

Tips : Mintalah gambar detail bracing dan kuda-kuda (termaksud jumlah screw pada buhul dan sambungan) dalam setiap surat penawaran, perusahaan baja ringan yang kompeten selalu melampirkannya.

3. Sistem Pemasangan ( Connector Yang Digunakan ).
    Mengingat beban pada tumpuan kuda‐kuda sangat besar hingga
mencapai lebih dari 2 ton untuk atap genteng keramik atau genteng beton
dengan bentangan kuda‐kuda yang lebar, maka diperlukan adanya desain khusus
untuk menahan beban tekan, beban angin, ataupun beban‐beban lainnya dalam
waktu yang bersamaan. Akibat dari beban‐beban tersebut diperlukan adanya
connector baik itu berupa screw, alat panyambung, ataupun sistem struktur yang
dapat menjamin kekuatan suatu konstruksi baja ringan.
Perusahaan baja ringan yang mengutamakan keamanan dan kualitas
biasanya mempunyai sistem struktur ataupun connector khusus yang telah
didesain sedemikian rupa sehingga akan menjamin keamanan dan kekuatan
struktur dalam jangka panjang.
Untuk itu mintalah penjelasan tentang berbagai macam connector beserta
masing‐masing fungsinya yang dimiliki oleh suatu perusahaan penyedia baja
ringan.

4. Jaminan Struktur & Bahan ( Surat Garansi ).
    Pernahkah Anda melihat berita baik itu di media cetak maupun elektronik
yang memberitakan kerobohan suatu konstruksi baja ringan ? Tahukah Anda
bahwa hampir semua perusahaan konstruksi baja ringan yang mengalami
kegagalan struktur hingga mengakibatkan kerobohan memberikan surat garansi
struktur dan bahan ? Ironinya lagi, bahkan ada yang memberikan surat garansi
atau jaminan struktur hingga diatas 10 tahun atau bahkan ada yang mencapai 20
tahun tapi pada kenyataanya dalam hitungan bulan, struktur baja ringan tersebut
sudah mengalami kerobohan.

Dari hal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa surat garansi yang
dikeluarkan perusahaan baja ringan tidak menjamin bahwa konstruksi baja ringan
yang di pasang tersebut akan bertahan lama seperti waktu yang dijanjikan.

Oleh karena itu yang perlu dicermati dalam surat garansi adalah siapa
yang bertanggungjawab terhadap surat garansi tersebut ?


Bisa Anda bayangkan suatu perusahaan baja ringan berani memberikan
surat garansi hingga 20 tahun bahkan seumur hidup tapi umur perusahaannya
sendiri baru 6 bulan atau 1 tahun. Oleh karena itu track record, kredibilitas, dan
kompetensi perusahaan yang bertanggung jawab dan menjamin surat garansi
menjadi pertimbangan utama dalam memilih produk atau perusahaan baja
ringan selain ketiga hal yang telah dijelaskan di atas.


Meskipun begitu keputusan ada di tangan Anda, semoga Anda dapat mengambil
keputusan yang tepat dengan tidak mengambil resiko yang tidak diinginkan;
nama baik, kredibilitas perusahaan, dan nyawa seseorang, semua
diperhitungkan dalam pengambilan keputusan ini. SUKSES UNTUK ANDA !!

KESELARASAN hidup manusia dan alam terangkum dalam konsep arsitektur hijau. Konsep yang kini tengah digalakkan dalam kehidupan manusia modern.

Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan pada bangunan yang dapat meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan. Arsitektur hijau meliputi lebih dari sebuah bangunan.

Dalam perencanaannya, harus meliputi lingkungan utama yang berkelanjutan. "Untuk pemahaman dasar arsitektur hijau (green architecture) yang berkelanjutan, di antaranya lanskap, interior, dan segi arsitekturnya menjadi satu kesatuan," ujar Nirwono Yoga, desainer lanskap yang juga pemerhati lingkungan.

Dalam perhitungan kasar, jika luas rumah adalah 150 meter persegi, dengan pemakaian lahan untuk bangunan adalah 100 meter persegi, maka sisa 50 meter lahan hijau harus digenapkan dengan memberdayakan potensi sekitar. Nirwono mencontohkan, pemberdayaan atap menjadi konsep roof garden dan green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Selain itu, tujuan pokok arsitektur hijau adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan.

"Arsitektur hijau dipraktikkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air, dan bahan-bahan, mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan melalui tata letak, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan bangunan," ulas Dr Mauro Rahardjo dari Feng Shui School Indonesia.

Secara matematis disebutkan, konsumsi 300 liter air harus dapat dikembalikan sepenuhnya ke tanah. Misalkan, air sisa cuci sayur dapat digunakan untuk mencuci mobil. "Atau membuat sumur resapan dan biopori," kata Nirwono.

Dalam hal estetika, arsitektur hijau terletak pada filosofi merancang bangunan yang harmonis dengan sifat-sifat dan sumber alam yang ada di sekelilingnya. Penggunaan bahan bangunan yang dikembangkan dari bahan alam dan bahan bangunan yang dapat diperbaharui.

"Memanfaatkan sumber yang dapat diperbaharui seperti menggunakan sinar matahari melalui passive solar dan active solar, serta teknik photovoltaic dengan menggunakan tanaman dan pohon-pohon melalui atap hijau dan taman hujan," kata Mauro.

Konsep arsitektur hijau sangat mendukung program penghematan energi. Rumah ala tropis dengan banyak bukaan, dibentuk untuk mengurangi pemakaian AC juga penerangan. Namun, hal tersebut tidak akan berjalan mulus jika sekeliling rumah tidak asri. Bukaan banyak hanya akan memasukkan udara panas dan membuat pemiliknya tetap memasang pendingin ruangan.

Taman dan halaman dalam arsitektur hijau juga tidak sekadar memperhatikan estetika. "Dengan adanya krisis pangan, gagasan roof garden bisa jadi apotek hidup atau kebun sayuran. Tidak zaman lagi bikin taman dari segi estetis saja," sebut Nirwono. Tanaman sayur ditata serapi mungkin, kemudian dikonsumsi pemiliknya. Beberapa tanaman yang cocok untuk roof garden adalah daun sirih, pandan sayur, kangkung, dan lain-lainnya.

Nirwono menjelaskan adanya keselarasan antartiap sendi dalam kehidupan. Orang bicara konsep hijau, tapi tidak jeli dengan sekitar. Krisis energi muncul akibat kelemahan manusia dalam memenuhi kebutuhan. Manusia menunggu datangnya bahan pangan dari luar kota. Sayur tomat yang bisa ditanam di halaman, tidak menjadi pilihan pertama. Lebih suka menunggu truk sayur membawa dari luar kota. Coba pikir, berapa banyak energi yang terbuang.

Sebuah perusahaan di Jerman melansir produk batu bata ramah lingkungan. Nyatanya, produk tersebut tidak jadi ramah lingkungan jika mesti dibawa menggunakan kapal laut ke luar Jerman. Sebaiknya kita mampu menggunakan batu bata sendiri, dengan biaya dan peluang pemborosan energi lebih sedikit. Struktur bangunan asli Indonesia sudah menerapkan prinsip green architecture.

"Struktur bangunan di Jawa dan Irian, jenis arsitektur tropis memanfaatkan bahan asli dari daerah tersebut," ucap pria ramah ini. Dengan segala keterbatasan, nenek moyang kita membangun rumah tepat daya dan guna.

Dari segi interior, arsitektur hijau mensyaratkan dekorasi dan perabotan tidak perlu berlebihan, saniter lebih baik, dapur bersih, desain hemat energi, kemudahan air bersih, luas dan jumlah ruang sesuai kebutuhan, bahan bangunan berkualitas dan konstruksi lebih kuat, serta saluran air bersih. Untuk mengatasi limbah sampah, lubang biopori dapat menjadi solusi.