Selasa, 09 November 2010

Sejarah dan Perkembangan Style Arsitektur di Jepang

Perkembangan sejarah arsitektur Jepang secara singkat diperkirakan dimulai sejak awal periode Yomon (ca. 8000~300 BC.). Kemudian dilanjutkan dengan beberapa periode, yaitu Yayoi (ca. 300 BC. ~ AD. 300) dan periode berikutnya adalah periode Tomb atau Kofun (ca. 300~552). Perjalanan dari periode-periode tersebut memberikan banyak peninggalan tradisi berbudaya dalam bangunan tempat tingal, temuan dari hasil rekonstruksi arsitektur dan arkeologi yang masih mempunyai bentuk keasliannya, yang sampai saat ini masih dapat dilacak keberadaannya. Arsitektur dari bangunan tempat tinggal tersebut memberi corak tradisi  erkembangan awal peradaban Jepang dalam membentuk lingkungan permukiman tradisionalnya. Tradisi dan budaya ini berkembang menjadi dasar pijakan awal perkembangn arsitektur dan kepercayaan asli bangsa Jepang. Hasil rekonstruksi di atas menunjukkan bahwa budaya asli mereka dalam berhuni cukup tinggi dengan struktur konstruksi bangunannya maupun pola permukimannya yang sangat dinamis
Setelah ketiga periode di atas berjalan, muncul satu kepercayaan asli bangsa Jepang yang berkembang pada waktu itu, yaitu Shinto (the Way of God). Mereka menyebutnya Tuhan mereka sebagai kami, karena itu kata kami dapat diartikan pula sebagai dewa atau Tuhan. Shinto merupakan satu kepercayaan asli (primitif) dengan sifat universal. Bentuk bangunan kuilnya merupakan ciri khas dari arsitektur tradisional Jepang (native architecture). Struktur dan konstruksi bangunannya masih asli dan sangat sederhana, tanpa adanya detail dan ornament serta warna. Bentuk bdan tampilan angunannya mempunyai karakter jerinih, tanpa adanya polesan apapun. Keasliannya memberikan cermin akan kesederhanaan karakter dan budaya yang melekat pada tradisi waktu itu, yang akhirnya dibawa ke dalam era modern sekarang ini. Dari bentuk bangunannya, belum nampak adanya pengaruh dari arsitektur manapun dalam hal ini Budisme. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada masa tersebut agama/kepercayaan dan arsitektur yang berkembang pada waktu itu belum terpengaruh dari manapun. Karena pada periode tersebut agama Buda dan segela bentuk budayanya belum masuk dan menyebar ke Jepang, baik yang melalui Korea maupun Cina.
Pada tahun 552 AD., Budisme masuk ke Jepang melalui Korea (melalui kerajaan Paekche). Pada waktu itu Budisme berkembang sangat pesat terutama di Kota Nara, dan perkembangan tersebut meliputi agama (dengan munculnya enam aliran di dalam agama Buda), kebudayaan, arsitektur, seni, dan sebagainya. Pola dan bentuk bangunan kuil-  kuilnya pengaruh  dari arsitektur dan budaya Cina sangat kuat sekali, baik dari struktur bangunannya maupun bentuk tampilannya. Perkembangan Budisme diawali sejak periode Asuka (552~645) dan dilanjutkan pada periode Nara (646~793). Dari perjalanan kedua periode tersebut, arsitektur kuil berkembang pesat, dan style yangmmuncul pada waktu itu, adalah wayou (native style = Japanese style architecture). Merupakan style dengan keaslian bentuk dan tampilannya mencirikan awal dari berkembangnya arsitektur Budhis di Jepang. Dengan berbagai macam aliran dalam Budisme yang berkembang di Kota Nara, berkembang pula berbagai macam bangunan kuil mulai pagoda sampai pada permukimannya. Dengan bentuk dan detail-detail arsitekturnya menjadikan awal dari perkembangan arsitektur bangunan kuil-kuil di Jepang.
Pada periode Heian (794~1185), ada dua sekte besar yang banyak berperan di dalam pengembangannya. Kedua sekte tersebut adalah, sekte Shingon dan sekte Tendai. Kedua sekte ini mengembangkan ajaran tentang esoterik Budisme (dari aliran Mahayana) dengan  mandalanya (kosmik diagram). Untuk sekte Shingon mempunyai kompleks kegiatan yang berpusat di atas gunung Koya di propinsi Wakayama. Sedangkan sekte Tendai berpusat di atas gunung Hie yang terletak di perbatasan antara propinsi Kyota dan Shiga. Pada periode ini perkembangan dari style untuk kuil-kuil Buda, masih bertahan dengan wayou (Japanese style). Bangunan-bangunan kuil dengan pola perletakan kompleks kuilnya menjadi ciri khas  ada periode tersebut. Demikian juga dengan lukisan-lukisan dengan konsep mandalanya berkembang dengan pesat, dan menjadi ciri dari periode tersebut.
Pada periode Kamakura (1186~1333), muncul beberapa sekte baru dalam agama Buda, di antaranya adalah Zen Budisme yang berkembang pesat di Jepang. Waktu itu perkembangannya melalui duasekte besar, yaitu sekte Rinzai dan sekte Soutou. Kedua sekte ini dibawa oleh biksu-biksu dari Jepang yang belajar ke Cina. Membawa filosofi baru dalam Budisme yang akhirnya berkembang keseluruh bagian dari kehidupan masyarakat Jepang, terutama dalam bidang seni dan budaya. Periode ini campur tangan dari pemerintah militer mempunyai peran besar, terutama dalam perkembangan dari sekte
Rinzai. Dapat dikatakan, bahwa kedua sekte yang mereka bawa dari Cina dapat masuk ke dalam kehidupan masyarakat, termasuk arsitektur Zen yang terlihat pada bangunan kuil maupun huniannya. Selain sekte yang berkembang melalui Zen Budisme, ada, beberapa sekte lain dari agama Buda yang juga berkembang, di antaranya sekte Judou, sekte Joudou-shin dan sekte Nichiren. Meskipun demikian, pada awalnya Japanese style (wayou) masih bertahan, namun dalam proses perjalanannya style baru yang masuk dibawa dari Cina Zen style (zenshuyou) atau juga disebut karayou (Chinese style), mengalami perkembangan pesat. Style ini berkembang terutama pada bangunan-bangunan kuil, pola lay out bangunan ataupun detail-detail arsitektur menjadikan ciri khas bangunan Zen Budisme di Jepang. Di samping style-style tersebut, ada beberapa kuil  ang di dalam perkembangannya menggunakan atau mengadopsi lebih dari dari satu macam style, yang diwujudkan ke dalam sebuah bangunan. Di antaranya, adalah penggabungan dari beberapa macam style, yaitu “wayou”+”zenshuyou/karayou”+“daibutsuyou”. Penggabungan dari berbagai macam style ini juga dinamakan setchuyou (mix style/hybrid style). Sebenarnya, pada periode Kamakura ini, style yang berkembang hanya ada dua, yaitu zenshuyou dan daibutsuyou (great Buddha style)/tenjikuyou (Hindu style). Sedangkan untuk daibutsuyou muncul pertama kali saat Chogen melakukan restorasi bangunan Nandaimon, yaitu pintu gerbang, yang terdapat di bagian selatan dari kuil Toudai-ji di Kota Nara.
Dalam Zen Budisme, perkembangan pesat terjadi pada sekte Rinzai, terutama di Kota Kamakura dan Kyoto. Di kedua kota tersebut, terdapat ranking dari lima kuil besar (gozan), sistem tersebut diadopsi dari sistem yang terdapat di Cina. Kuil-kuil besar yang terdapat di kedua kota tersebut mendapat dukungan dari pemerintah militer yang berkuasa pada waktu itu. Dukungan yang diberikan oleh pemerintah militer antara lain meliputi ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Sedangkan sekte Rinzai lebih banyak berkembang di pusat-pusat Kota, dibandingkan dengan sekte Soutou karena mendapat dukungan dari pemerintah militer. Sebaliknya, untuk sekte Soutou lebih banyak berkembang di daerah pedesaan dan pegunungan yang jauh dari pusat kota. Pada tahun 1630, ada sekte baru, yaitu sekte Obaku yang merupakan bagian dari Zen Budisme masuk ke Jepang dibawa oleh seorang bhiksu dari Cina. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, di Kota Kyoto berkembang pula dua kuil besar dari sekte Rinzai, yaitu Myoushin-ji dan Daitoku-ji. Kedua kuil ini tidak mendapat dukungan dari pemerintah militer yang berkuasa waktu itu. Karena keduanya tidak masuk ke dalam ranking lima kuil besar (gozan), dan dalam perkembangannya kedua kuil tersebut hingga saat ini masih bertahan.
Pada periode Muromachi (1134~1573), style dari zenshuyou maupun karayou masih berkembang dengan pesatnya. Terutama pada art of garden (seni penataan taman) dengan bentuk penataan mempunyai ciri khas dari filosofi Zen. Seni taman ini banyak terlihat pada vihara- vihara sekte Rinzai, yang terdapat di dalam kompleks kuil-kuil besar Zen yang berada di Kota Kyoto. Perkembangan lain yang terjadi, adalah residential architecture (rumah tinggal), terlihat pada bangunan-bangunan kuil, vila, dan rumah para samurai dengan
sentuhan detail-detail arsitektur yang khas dari Zen Budisme.
Berikutnya pada periode Momoyama (1574~1614), ada tiga shogun besar yang mempersatukan Jepang di antaranya adalah Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieasu. Style yang berkembang pada periode ini masih bertahan pada zenshuyou/karayou, sedangkan pada bagian lain adalah Zen painting (seni lukis) nampak berkembang sangat pesat. Pada bagian lain dari periode ini yang juga berkembang pesat adalah bangunan castle, perkembangannya hampir terdapat di seluruh Kota yang ada di Jepang. Sebagian dari bangunan castle tersebut sampai saat ini masih bertahan dan dilestarikan sebagai cagar budaya. Ada beberapa bangunan yang sudah mengalami perubahan baik dengan cara restorasi maupun rekonstruksi, dan bahkan menggunakan teknologi modern, karena dengan kondisi bangunan yang ada sekarang sudah tidak mungkin lagi untuk dipertahankan sesuai dengan struktur dan konstruksi aslinya.
Pada periode Edo (1574~1868), adalah merupakan penerusan dan Perkembangan dari periode sebelumnya (Momoyama). Dalam periode ini terlihat adanya penekanan pada detail-detail bangunan, warna, dan ukiran baik untuk kuil maupun hunian rumah tinggal. Machiya (rumah di perkotaan) berkembang pesat hampir di semua kota, menjadi awal peradaban hunian kota yang sebagian besar masih bertahan sampai saat ini di Jepang. Akhir periode ini menjadi awal dari pelestarian cagar budaya bagi bangunan-bangunan yang di  angun periode sebelum sampai akhir periode Edo.
Periode berikutnya, adalah restorasi Meiji (1687~1911) dan periode Taisho (1912~1926), pengaruh dari western style (arsitektur barat) di antaranya renaissance, gothic dan romanesque masuk ke Jepang. Style-style tersebut banyak dikembangkan untuk bangunan-bangunan universitas, museum, peribadatan, dan kantor. Pengaruh dari style- style peninggalan periode Meiji dan Taisho sampai saat ini masih dapat dilihat di Kota-Kota besar di Jepang sebagai warisan budaya masa lalu. Dipertahankan sebagai bagian dari bangunan cagar budaya mereka. Bahkan para arsitek Jepang yang menghasilkan karyanya pada waktu itu hampir kesemuanya menggunakan style-style tersebut sebagai bagain dari desain bangunannya.
Babak baru dari dunia arsitektur berkembang dengan pesat hampir keseluruh daratan Jepang, terutama di Kota-Kota besar. Pada periode  Showa (1927~1988) banyak arsitek Jepang yang belajar ke Amerika dan Eropa memberikan pengaruh besar terhadap Perkembangan arsitektur di Jepang. Seperti Maekawa Kunihiro yang disebut sebagai bapak arsitektur modern Jepang yang belajar ke Prancis di bawah arsitek Le Corbusier. Pengaruh besar dari hasil belajarnya di Prancis memberikan suasana baru di Jepang dalam desain bangunannya. Kemudian arsitek lain seperti, Kenzo Tange juga banyak memberikan ungkapan-ungkapan baru di dalam rancangannya. Sangat berbeda dengan native arsitektur yang tmbuh dan berkembang di Jepang sendiri. Dilanjutkan dengan periode Heisei (1989~sekarang) di mana post-modern mulai berkembang di Jepang (sebenarnya post-modern di Jepang berkembang awal tahun 1980-an) dan hal ini muncul akibat dari bubble economic. Perkembangan desain dari arsitektur post- modern memberikan perubahan dalam perjalanan arsitektur Jepang dalam memberikan segala macam bentuk-bentuk arsitekturnya. Dengan sedemikian rupa penjelajahannya memberikan ungkapan yang sukar untuk diduga ke mana arh ide dan gagasannya. Bermunculan bagai cendawan di musim hujan bersanding secara kontradiktif dengan ketradisionalan yang mereka punyai. Style-style telah mengabaikan tradisi, budaya, bentuk, bahan dan ungkapannya. Menjadi tempat berlombanya para arsitek Jepang dalam menemukan ide-de dan gagasan baru dalam berkreasi untuk menciptakan bentuk-bentuk barunya. Ini menjadi ciri khas berakhirnya arsitektur post-modern di Jepang.

BELENGGU KREATIVITAS ARSITEK

Arsitektur berkembang dalam perjalanan yang panjang. Sejak pertama manusia memahami kaidah ruang dan mengolahnya menjadi lebih baik untuk kepentingan hidupnya, manusia sudah ber-arsitektur. Manusia sudah menghasilkan karya arsitektur. 

Kebutuhan manusia dapat mempengaruhi gagasan-gagasan arsitektural. Gagasan-gagasan ini masih terus berkembang sejalan dengan nilai-nilai yang dianut. Nilai budaya manusia yang semakin beragam dan terbuka memberikan peluang terwujudnya arsitektur yang beragam tersebut.

Seperti halnya bidang-bidang lain, arsitektur mempunyai “tata tertib sendiri” terutama dalam menciptakan hasil atau produknya di dunia. Konstelasi “tata tertib” tersebut, baik dalam wujud tradisi, nilai-nilai yang hidup di masyarakat pemakainya dan lain sebagainya bertransformasi ke dalam wujud bangunan (arsitektur). Pada kenyataan lain kontroversi dalam arsitektur muncul sejak lama yaitu apakah arsitektur itu mempunyai/membutuhkan teori (seperti halnya ilmu lain) atau tidak? Dibandingkan, ilmu eksakta lain, arsitektur sering dikatakan belum memiliki Body of Knowledge yang utuh dan pasti. Secara keilmuwan, arsitektur belum mapan.

Paul-Allan Johnson dalam bukunya The Theory of Architecture berusaha menjelaskan realitas arsitektur dalam perspektif ilmu. Ia ingin menunjukkan keterbatasan pengetahuan menangkap realitas arsitektur, karena selama ini pendekatan teori dalam arsitektur mengandalkan rasionalitas-positivistik dan bercorak bagian per-bagian. Teori arsitektur bukanlah teori yang dimengerti dan diyakini sebagai dalil universal atau generalisasi yang mencakup semua bentuk arsitektur melainkan teori yang bersifat lokal atau regional, sangat spesifik atau mungkin mengandung kontradisksi serta mencakup beragam situasi dan konteks yang berkaitan dengannya.

Didalam perjalanannya, arsitektur mengalami perkembangan/perubahan-perubahan dan memunculkan berbagai gelombang arsitektural, misalnya : Arsitektur Klasik, Arsitektur Kristen dan Byzantine, Romanik, Barok, Renaissance, Klasik Baru, Modern dan Arsitektur Post Modern. Masing-masing gelombang mewakili dinamika jaman , gagasan-gagasan dan sosial budaya masyarakatnya serta pengaruh mazhab-mazhab tokoh arsitektur masa itu. Apa yang terjadi di Indonesia, bahkan Kalbar akan sangat berbeda dengan daerah lain. Pada masing-masing masa itu, pergelutan kreativitas arsitek di “lingkari” mazhab (paradigma), tuntutan masyarakat zamannya. Bahkan mungkin lingkaran tersebut menjadi ukuran dan pembatas yang membuat si arsitek takut untuk berkreasi diluar atmosfer zamannya. Apalagi pada masa lalu, pengaruh kekuasaan sangat dominan dan demokratisasi belum berkembang.

Disisi lain, disain akan memunculkan kreativitas yang baik bila independensi proses kreativitas individual, otonomi imajinasi seni si arsitek lebih besar. Yaitu bagaimana ia menginterpretasikan permasalahan sosial budaya masyarakat yang sedang berkembang dengan prediksi-prediksi yang jauh ke depan. Dan kemudian memunculkan bentuk-bentuk spektakuler, yang menyentuh jiwa serta memberi warna bagi kehidupan itu sendiri. Arsitek dituntut berfikir desain dan menghasilkan sesuatu yang “dari tidak ada menjadi ada”. Arsitek adalah tukang mimpi dan penghayal, namun demikian dia adalah pemimpi yang terukur. Mimpi yang dapat diwujudkan secara fisik bangunan atau kawasan binaan. Alhasil, arsitek seringkali menghasilkan produk – bentuk -yang tak terbayangkan oleh orang awam sebelumnya, bahkan bisa jadi bentuk yang tidak lazim pada masanya (aneh).

Intonasi mazhab yang nyaring dan teori-teori yang ada menjadikan hasil disain para arsitek menjadi relatif sama sehingga bila ahli sejarah memilah-milah akan memunculkan periode-isasi, generasi-generasi, langgam atau zaman tersendiri dalam dunia arsitektur! Dengan kata lain hasil karya aristektur tidak memiliki warna! Pernahkah arsitek pada masa Renaissance berfikir tentang disain modern seperti sekarang? Atau pernahkan arsitek masa itu berfikir tentang disain hunian ke depan atau melampaui jamannya, seperti halnya Julles Verne (Novelis/astronom) abad 16 berfikir tentang perjalanan dan hidup di bulan padahal teknologi pesawat ruang angkasa rekaman foto saat ruang angkasa itu belum ada !

Untuk arsitek sekarang, dimana demokratisisai sudah jauh lebih baik namun tekanan Market (Kapitalisasi) yang kuat, integritas arsitek ditantang untuk mampu dan berani berfikir disain yang jauh kedepan melintasi jaman, sekaligus menjadi pembuat artifak budaya yang peka pada masalah sosial saat ini.

Lalu, bagaimana sikap arsitek menghadapi tekanan pasar, kolega dan masyarakat bila ingin berfikir lain-jauh melampau jaman? Inilah pertanyaan besar dan mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu.